Harian Cakrawala – Pada awal pekan, tepatnya sejak Selasa, 9 September 2025, langit di atas Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) seakan terkoyak. Hujan deras dengan intensitas ekstrem mengguyur tanpa henti, mengubah sungai-sungai yang tenang menjadi arus bah yang ganas dan destruktif. Di tengah malam buta, saat sebagian besar warga terlelap, air bah menerjang permukiman, merendam rumah hingga setinggi dada, dan menyapu apa pun yang dilaluinya. Bencana ini datang dengan tiba-tiba dan brutal, meninggalkan jejak kehancuran dan duka mendalam di dua provinsi yang menjadi etalase pariwisata Indonesia. Skala bencana yang terjadi begitu masif, melumpuhkan kehidupan di sejumlah wilayah dan menelan puluhan korban jiwa.
Di balik statistik yang dingin, terbentang kisah-kisah pilu yang menyayat hati. Korban jiwa datang dari berbagai kalangan, membuktikan bahwa amukan alam tidak mengenal usia maupun status sosial. Di antara mereka yang berpulang adalah para lansia, seperti Ni Made Latif (70 tahun) dan Ni Made Rupet (87 tahun), serta seorang ibu yang tengah mengandung dua bulan, yang jasadnya ditemukan setelah terseret arus deras di Jembrana.
Tragedi paling memilukan terjadi di pusat perdagangan Denpasar, tepatnya di Pasar Kumbasari. Bangunan ruko yang kokoh tak berdaya dihantam arus bah, ambruk dan menimbun empat orang di dalamnya hingga tewas. Di lokasi lain, seorang perempuan ditemukan dalam kondisi mengenaskan, tertimpa tembok pagar yang roboh setelah terseret banjir. Hingga kini, tim penyelamat masih terus berjuang mencari satu keluarga yang terdiri dari tiga orang yang dilaporkan hilang, sebuah penantian penuh cemas bagi kerabat yang menanti kabar.
Banjir bandang ini melumpuhkan sebagian besar wilayah Bali. Di Kota Denpasar, empat kecamatan—Denpasar Timur, Utara, Selatan, dan Barat—terendam parah. Kabupaten Jembrana, Gianyar, dan Badung juga mengalami kerusakan yang luas. Dampak paling signifikan terasa pada infrastruktur vital. Jalur Denpasar–Gilimanuk, urat nadi transportasi yang menghubungkan wilayah barat dan selatan Bali, lumpuh total akibat genangan air yang mencapai dada orang dewasa, secara efektif mengisolasi sebagian wilayah pulau. Sementara itu, di Nusa Tenggara Timur, bencana serupa melanda Distrik Nagekeo di Pulau Flores. Upaya penyelamatan di wilayah ini menghadapi tantangan yang jauh lebih berat akibat medan yang terjal, longsoran material lumpur dan bebatuan, serta terputusnya jaringan listrik dan telekomunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa bencana yang terjadi bukanlah insiden lokal, melainkan sebuah krisis regional yang membutuhkan perhatian nasional.
Menghadapi skala bencana yang luar biasa, pemerintah pusat dan daerah bergerak cepat untuk melakukan operasi tanggap darurat. Penetapan status tanggap darurat bencana selama satu minggu oleh Wali Kota Denpasar dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadi langkah krusial pertama. Keputusan ini memungkinkan mobilisasi sumber daya secara masif untuk penyelamatan dan evakuasi. Sebuah satuan tugas gabungan berkekuatan hingga 600 personel, yang terdiri dari tim BNPB, TNI, Polri, dan Basarnas, segera dikerahkan ke titik-titik terparah. Dengan menggunakan perahu karet dan kendaraan amfibi, mereka menembus genangan air untuk mengevakuasi warga yang terjebak, memprioritaskan anak-anak, lansia, dan kelompok rentan lainnya.
Tingginya tingkat keparahan bencana ini memicu intervensi langsung dari pucuk pimpinan negara. Presiden Prabowo Subianto, sekembalinya dari lawatan ke Timur Tengah, tidak menunda waktu untuk meninjau langsung lokasi kerusakan di Bali. Kehadirannya tidak hanya bertujuan untuk melakukan asesmen cepat, tetapi juga sebagai simbol solidaritas dan kepedulian negara terhadap warganya yang tertimpa musibah. Sementara itu, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyoroti aspek yang lebih fundamental. Seruannya untuk “tindakan mendesak terkait penggunaan lahan” menjadi sinyal penting yang menghubungkan respons darurat saat ini dengan akar permasalahan sistemik yang akan dibahas lebih dalam. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pemerintah menyadari bencana ini bukan semata-mata akibat faktor alam.
Meskipun respons di Bali berjalan relatif cepat, tim penyelamat di Nagekeo, Flores, menghadapi tantangan yang ekstrem. Medan yang terjal dan longsoran material berupa lumpur, bebatuan, dan pepohonan tumbang membuat akses ke desa-desa terpencil menjadi sangat sulit. Kondisi ini diperparah oleh putusnya jaringan listrik dan komunikasi, yang menghambat koordinasi dan upaya pencarian korban hilang.
Mengurai Benang Kusut Penyebab Bencana: Alam, Manusia, dan Kebijakan
Banjir bandang di Bali dan NTT bukanlah sebuah peristiwa tunggal yang disebabkan oleh satu faktor. Bencana ini merupakan kulminasi dari “badai sempurna” (perfect storm), di mana fenomena alam ekstrem bertemu dengan kegagalan sistemik yang diciptakan oleh manusia. Menganalisisnya secara mendalam akan membuka tabir kelalaian infrastruktur, kelemahan kebijakan, dan kegagalan manajemen lingkungan yang telah berlangsung lama.
Pemicu utama bencana ini adalah anomali cuaca yang luar biasa. Analisis meteorologis menunjukkan adanya fenomena gelombang ekuatorial Rossby yang memicu pembentukan awan hujan masif di wilayah tersebut. Akibatnya, curah hujan yang turun melampaui 150 mm per hari, sebuah angka yang masuk dalam kategori “sangat berbahaya” dan jauh melampaui kapasitas normal lingkungan untuk menyerapnya. Faktor alam ini adalah pemicu awal, namun tingkat kehancurannya diperparah secara eksponensial oleh faktor-faktor berikutnya. Jika hujan ekstrem adalah pelatuknya, maka kondisi infrastruktur dan tata ruang yang buruk adalah amunisinya. Sejumlah laporan dan analisis ahli secara konsisten menunjuk pada dua biang keladi utama:
- Sistem Drainase yang Gagal: Sistem drainase di banyak wilayah, terutama di Denpasar, terbukti tidak mampu menampung volume air yang melimpah. Sungai dan kanal mengalami pendangkalan parah akibat sedimentasi dan, yang lebih parah, tersumbat oleh tumpukan sampah domestik. Kapasitas tampung yang berkurang drastis ini menyebabkan air meluap dengan cepat ke jalanan dan permukiman.
- Alih Fungsi Lahan Masif: Ini adalah faktor paling krusial dan paling sering disorot oleh para ahli dan pejabat. Pembangunan yang pesat dan sering kali tidak terkendali di Bali telah mengubah secara drastis lanskap pulau tersebut. Daerah resapan air yang vital, seperti sawah, tegalan, dan ruang terbuka hijau, secara masif dialihfungsikan menjadi hotel, vila, kompleks perumahan, dan bangunan komersial lainnya. Hilangnya “spons alami” pulau ini membuat air hujan tidak lagi meresap ke dalam tanah, melainkan langsung mengalir ke permukaan, menciptakan volume air bah yang masif dan tak terkendali.
Bencana ini pada hakikatnya bukanlah sekadar “bencana alam”. Ini adalah manifestasi dari kegagalan sistemik yang saling terkait. Pertama, kegagalan infrastruktur, yang tecermin dari sistem drainase yang tidak memadai dan tidak terawat. Kedua, kegagalan kebijakan, yang terlihat dari lemahnya penegakan aturan tata ruang (RT/RW) dan pemberian izin pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Ketiga, kegagalan manajemen lingkungan, yang ditandai oleh masalah sampah kronis yang menyumbat saluran air.
Konvergensi dari ketiga kegagalan ini menciptakan sebuah kerentanan yang sangat besar. Pembangunan ekonomi yang menjadi mesin kemakmuran Bali, terutama yang didorong oleh industri pariwisata, secara ironis justru menjadi pendorong utama risiko eksistensialnya. Peristiwa ini memaksa kita untuk mengajukan pertanyaan kritis: apakah model pembangunan saat ini, yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi jangka pendek di atas ketahanan ekologis jangka panjang, dapat terus dipertahankan di tengah ancaman krisis iklim yang semakin nyata? Banjir Bali adalah sebuah peringatan keras bahwa alam memiliki batas, dan batas itu kini telah terlampaui.
Banjir Bali September 2025 akan dikenang sebagai sebuah tragedi besar. Namun, warisan terpentingnya bukanlah pada jumlah korban atau kerugian materi, melainkan pada pelajaran mahal yang diberikannya. Ini adalah panggilan untuk sebuah refleksi kolektif, sebuah momentum untuk mengubah arah pembangunan dari yang eksploitatif menjadi berkelanjutan, demi memastikan bahwa surga tidak lagi harus menangis.