Transisi Energi Sektor Transportasi: Dari Biofuel hingga Kendaraan Listrik

Petugas mencoba mengisi daya mobil listrik usai peluncuran Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan mesin penukar botol plastik menjadi uang atau Reverse Vending Machine (RVM) di Masjid Raya Bintaro Jaya, Kota Tangerang Selatan, Banten, Jumat (5/9/2025). BSI meluncurkan SPKLU dan RVM untuk mendukung gerakan ekonomi hijau di lingkungan berbasis komunitas masjid. ANTARA FOTO/Putra M. Akbar

Harian Cakrawala – Deru mesin berbahan bakar fosil yang dulu mendominasi jalan-jalan ibu kota, kini mulai terdampingi oleh suara senyap kendaraan listrik. Di sisi lain, stasiun pengisian bahan bakar kini juga menyediakan biodiesel ramah lingkungan. Inilah wajah baru transportasi Indonesia—sektor yang selama ini menjadi penyumbang emisi terbesar, perlahan bergerak menuju energi bersih.

Transisi energi di sektor transportasi bukan hanya keniscayaan, melainkan keharusan. Pemerintah menargetkan net zero emission pada tahun 2060, dan transportasi menjadi sektor krusial dalam pencapaian itu. Saat ini, terdapat dua pendekatan utama yang didorong bersamaan: biofuel dan kendaraan listrik.

Di sebuah kebun sawit di Riau, Taufik, seorang petani plasma, tersenyum lebar. Produksi sawitnya kini bukan hanya untuk minyak goreng, tapi juga untuk biodiesel B35, campuran solar dengan 35 persen minyak sawit. “Dulu harga sawit naik turun, sekarang ada kepastian. Biodiesel bikin kami punya harapan baru,” ujarnya.

Biodiesel, sebagai bagian dari biofuel, menjadi ujung tombak pemerintah dalam menekan konsumsi solar berbasis fosil. Dengan infrastruktur distribusi BBM yang sudah luas, penggunaan biodiesel menjadi lebih mudah diimplementasikan dibandingkan kendaraan listrik.

Namun, biofuel bukan tanpa kritik. Penggunaan lahan besar untuk tanaman energi memunculkan kekhawatiran deforestasi dan konflik agraria. Maka, pemerintah mendorong inovasi pada bioetanol generasi kedua dari limbah pertanian seperti jerami, bukan lagi dari bahan pangan.

Sementara itu, di sisi lain kota, Tania, seorang karyawan muda di Jakarta Selatan, baru saja mengisi daya mobil listriknya di SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum). “Biaya operasional lebih murah. Nggak ribet ke pom bensin, tinggal colok di rumah,” katanya.

Meski adopsinya belum masif, tren kendaraan listrik mulai terlihat meningkat. Berdasarkan data Gaikindo, penjualan kendaraan listrik di Indonesia tumbuh lebih dari 40 persen sepanjang 2024. Pemerintah pun tak tinggal diam, memberikan insentif pajak, subsidi, hingga pembebasan bea masuk untuk mempercepat adopsi EV.

Namun, tantangan tetap besar: infrastruktur pengisian masih terbatas, harga EV masih tinggi, dan ketergantungan terhadap impor baterai masih besar. Untuk itu, pemerintah mendorong pembangunan ekosistem baterai nasional, dari hulu (nikel) hingga hilir (pabrik baterai dan daur ulang).

Pemerintah Indonesia bersama BUMN strategis terus mempercepat transisi energi di sektor transportasi sebagai bagian dari komitmen mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Langkah ini diwujudkan melalui beragam inisiatif, mulai dari pengembangan biofuel hingga akselerasi ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB).

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi, dalam bahan presentasinya menjelaskan bahwa sektor transportasi memegang peranan penting dalam roadmap transisi energi nasional. “Transisi energi harus mampu menciptakan keseimbangan antara kemandirian energi nasional, pertumbuhan ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. Sektor transportasi adalah salah satu penyumbang signifikan emisi karbon sehingga menjadi fokus utama,” tulis Eniya dalam paparannya yang disampaikan pada EITS Discussion Series 2025: Apa Kabar Transisi Energi di Sektor Transportasi, di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Menurut Eniya, strategi pemerintah meliputi elektrifikasi transportasi, pengembangan bioetanol, biodiesel, hingga bioavtur untuk penerbangan. “Grand design transisi energi transportasi diarahkan agar emisi karbon dapat ditekan secara berkelanjutan,” tambahnya dalam bahan presentasi tersebut.

PLN Perkuat Ekosistem Kendaraan Listrik

Sejalan dengan kebijakan pemerintah, PT PLN (Persero) menegaskan perannya sebagai motor utama penyediaan infrastruktur kendaraan listrik.

Executive Vice President Pengembangan, Pinjaman, dan Perizinan Proyek PLN, Moch Padang Dirgantara, menyampaikan bahwa PLN menjalankan strategi end-to-end, mulai dari pembangkitan berbasis energi baru terbarukan hingga layanan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang ramah konsumen. “Hingga September 2024, PLN telah mengoperasikan lebih dari 2.100 unit SPKLU di 1.463 lokasi serta 2.200 unit SPBKLU. Setahun kemudian, jumlah SPKLU sudah meningkat dua kali lipat menjadi 4.216 unit di 2.800 lokasi dari Aceh hingga Papua,” jelas Dirgantara.

Ia menambahkan, pengembangan SPKLU terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat. “Melalui Permen ESDM Nomor 182 Tahun 2023, kami membuka peluang investasi untuk UMKM, koperasi, hingga individu. Dengan demikian, ekosistem kendaraan listrik bisa tumbuh inklusif dan menguntungkan semua pihak,” katanya.

Tantangan Insentif dan Daya Beli

Sementara itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Dina Nurul Fitria, menyoroti perlambatan pertumbuhan penjualan kendaraan listrik. Menurutnya, penurunan volume pembelian mobil maupun motor listrik salah satunya dipengaruhi berakhirnya insentif pembelian.

“Dulu insentif dari pemerintah, termasuk kelonggaran pembiayaan dari bank Himbara, mendorong minat beli kendaraan listrik. Namun, setelah subsidi dicabut, ditambah daya beli masyarakat yang masih terbatas, minat tersebut menurun,” jelas Dina.

Ia menambahkan, harga mobil non-EV yang cenderung turun juga membuat konsumen lebih memilih kendaraan konvensional. “Kalaupun masyarakat punya kemampuan membeli mobil baru, banyak yang akhirnya tetap memilih non-EV,” ujarnya.

Transisi energi yang merupakan mandat dari Presiden Prabowo Subianto, memperkuat komitmen dalam mendukung transisi energi nasional, PT Pertamina (Persero) khususnya di sektor transportasi. Sejumlah inisiatif strategis dilakukan, mulai dari pengembangan biofuel, sustainable aviation fuel (SAF), hingga hidrogen hijau yang diharapkan mampu mengurangi emisi karbon sekaligus menjaga ketahanan energi Indonesia. “Transisi energi harus dijalankan secara serius agar Indonesia tetap tangguh menghadapi perubahan global. Pertamina fokus tidak hanya pada energi ramah lingkungan, tetapi juga andal dan terjangkau,” ungkap Pjs. SVP Sustainability Pertamina, Indira Pratyaksa.

Salah satu bukti konkret adalah penerbangan uji coba Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang dilakukan oleh Pelita Air Service pada 20 Agustus 2025. Pesawat berhasil terbang pulang-pergi Jakarta–Bali dengan bahan bakar ramah lingkungan produksi Pertamina. “Ini bukti nyata komitmen Pertamina mendukung transportasi hijau. SAF yang kami kembangkan sudah melalui uji coba bersama mitra internasional dan terbukti mampu menurunkan emisi hingga 85% dibandingkan bahan bakar konvensional,” jelas Indira.

PT Pertamina (Persero) menegaskan peran strategisnya dalam mendorong transisi energi di sektor transportasi melalui pengembangan biofuel, bahan bakar penerbangan berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF), hingga hidrogen.

Sementara Direktur Proyek dan Operasi PT Pertamina New Renewable Energy (PNRE) Norman Ginting menambahkan bahwa sektor transportasi menjadi penyumbang 36 persen konsumsi energi nasional dan sekitar 73 persen dari total konsumsi BBM nasional. Karena itu, transformasi energi bersih di sektor ini menjadi sangat penting. “Indonesia masih bergantung pada impor minyak sejak 2003. Untuk mengurangi ketergantungan tersebut sekaligus menekan emisi karbon, Pertamina berkomitmen mempercepat diversifikasi energi di sektor transportasi,” ujar Norman.

Adapun untuk Biodiesel, program B40 resmi berjalan pada 2025, dengan dukungan kilang hijau (green refinery) yang dapat memproduksi Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) untuk melampaui kebutuhan pencampuran biodiesel. Sementara Bioavtur (SAF), uji coba SAF berbasis minyak jelantah yang telah dilakukan Pelita Air menjadi wujud nyata transisi energi di sektor transportasi melalui pemanfaatan sumber daya lokal yang ramah lingkungan.

Terkait kendaraan Listrik dan Baterai, melalui Indonesia Battery Corporation (IBC), Pertamina membangun ekosistem EV dan BESS (Battery Energy Storage System) dengan ambisi menjadi produsen terbesar di ASEAN. Adapun untuk Hidrogen dan e-Fuel, Pertamina tengah menyiapkan dua Stasiun Pengisian Hidrogen (HRS) di Daan Mogot (2026) dan Jawa Barat (2028), dengan kapasitas awal 200–500 kg/har. “Indonesia dianugerahi potensi energi bersih dan terbarukan yang melimpah, namun tetap ada tantangan di depan. Karena itu kita perlu bekerja sama. Transisi energi membutuhkan aksi kolektif dengan kolaborasi erat dari semua pihak,” ujar Norman Ginting.

Menuju Transportasi Hijau

Transisi energi di sektor transportasi adalah perjalanan panjang yang sedang berlangsung. Kombinasi antara biofuel sebagai solusi jangka pendek-menengah, dan kendaraan listrik sebagai investasi jangka panjang, menjadi strategi dual-track yang paling masuk akal bagi Indonesia saat ini.

Melalui kolaborasi pemerintah, BUMN, dan masyarakat, Indonesia optimistis dapat mempercepat transisi energi sektor transportasi. Sinergi biofuel, elektrifikasi, serta inovasi energi baru seperti hidrogen dan amonia akan menjadi kunci menuju era transportasi hijau sekaligus mendukung target NZE 2060.

Menuju transportasi hijau bukan proyek lima tahun. Ini adalah gerakan lintas generasi. Dari kebijakan negara, inovasi teknologi, partisipasi industri, hingga kesadaran warga—semua harus berjalan beriringan.

Perubahan memang tak instan, tapi bukan berarti mustahil. Setiap kilometer yang ditempuh tanpa emisi, setiap kendaraan yang tidak membakar BBM, dan setiap individu yang memilih naik bus alih-alih mengemudi—adalah bagian dari perubahan besar.

Masa depan transportasi Indonesia akan ditentukan bukan hanya oleh teknologi, tapi oleh keberanian untuk berubah. Seperti kata pepatah, “Perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah.” Indonesia telah melangkah—dan kini saatnya memastikan langkah itu berlanjut, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Sumber

Pos terkait