Darurat Iklim Indonesia: Antara Target Global dan Realita Lapangan

Harian Cakrawala – Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan agenda pembangunan global yang disepakati oleh seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015 melalui dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. SDGs dirancang sebagai kerangka pembangunan komprehensif yang bertujuan untuk menjawab tantangan utama dunia modern, seperti kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, serta dampak perubahan iklim, dengan prinsip utama no one left behind (United Nations, 2015). SDGs menekankan keterkaitan antartujuan dan menempatkan pembangunan manusia, perlindungan lingkungan, serta pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. SDGs terdiri atas 17 tujuan utama dan 169 target yang mencakup berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Kerangka ini menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai hanya dengan fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi harus memperhatikan keadilan sosial dan daya dukung lingkungan. Indonesia, sebagai salah satu negara yang secara aktif mengadopsi SDGs, telah mengintegrasikan agenda ini ke dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah, termasuk melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan pembentukan Sekretariat Nasional SDGs.

Pemerintah menegaskan bahwa SDGs menjadi panduan strategis dalam pembangunan jangka panjang, terutama untuk memastikan bahwa kemajuan ekonomi tidak mengorbankan lingkungan dan kelompok masyarakat yang rentan. Namun, implementasi SDGs di Indonesia menghadapi tantangan besarkarena luas wilayah, keragaman kondisi geografis dan sosial, serta ketimpangan kapasitas antarwilayah.

Di antara 17 tujuan tersebut, SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim memiliki posisi yang sangat strategis karena berperan sebagai pengungkit bagi banyak tujuan lainnya. Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mempengaruhi ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, ketersediaan air, kemiskinan, serta keberlanjutan kota dan desa. Perubahan iklim bukan lagi konsep abstrak atau masalah masa depan semata — di Indonesia, fenomena ini telah dan sedang terasa secara nyata dalam hidup masyarakat, lingkungan, dan ekonomi. SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim menempatkan urgensi untuk mengambil tindakan segera terhadap perubahan iklim dan dampaknya, termasuk memperkuat ketahanan dan adaptasi terhadap bahaya iklim dan bencana alam, serta integrasi mitigasi dan adaptasi ke dalam kebijakan nasional dan lokal (United Nations, n.d.). Target ini sangat relevan mengingat posisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan tropis yang rentan terhadap perubahan iklim, serta perannya sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

SDG 13 sendiri dirumuskan untuk mendorong negara-negara di dunia melakukan tindakan nyata melalui lima target utama yang diukur dengan beberapa indikator, termasuk pengurangan risiko bencana, integrasi tindakan iklim dalam kebijakan publik, dan peningkatan kesadaran serta kapasitas untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (sdgs.ub.ac.id, n.d.). Bagi Indonesia, tujuan ini berarti bukan hanya pengurangan emisi gas rumah kaca, tetapi juga kesiapsiagaan menghadapi bencana, pembangunan berkelanjutan yang inklusif, dan transformasi struktural terhadap cara negara dan masyarakat memandang pembangunan. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa tantangan menuju pencapaian SDG 13 tidaklah sederhana. Bencana iklim ekstrem, deforestasi, ketergantungan pada ekonomi berbasis bahan bakar fosil, serta keterbatasan kapasitas adaptasi di banyak daerah menjadi faktor yang saling berinteraksi — menimbulkan risiko sistemik sekaligus menghambat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan. Fenomena Alam dan Dampak Krisis Iklim di Indonesia Tahun 2025 menjadi salah satu periode yang paling menonjol dalam sejarah baru dinamika iklim di Indonesia.

Bencana besar berupa banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatra pada akhir November 2025 menjadi contoh dari bagaimana perubahan iklim memperburuk kondisi alami yang berpotensi terjadi setiap tahun. Serangkaian peristiwa yang dikenal sebagai 2025 Sumatra floods and landslides menyebabkan ratusan korban tewas, ribuan luka, serta jutaan orang terdampak secara sosial dan ekonomi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dengan kerugian diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah dan lebih dari satu juta orang harus menghadapi pemindahan sementara serta gangguan infrastruktur yang parah. Bencana ini terutama disebabkan oleh curah hujan ekstrem yang dipicu oleh kondisi atmosfer dan lautan yang mengandung lebih banyak kelembapan — sebuah fenomena yang ilmuwan iklim hubungkan dengan pemanasan global (The Guardian, 2025; Reuters, 2025).

Bukan hanya Sumatra. Data peneliti iklim menunjukkan bahwa suhu di Indonesia telah naik lebih dari 1,5 °C di atas tingkat pra-industri untuk periode tertentu di tahun 2024, sebuah batas yang sering disebut sebagai ambang keamanan dalam perjanjian iklim global (reddit, 2024 dalam konteks COP agreements). Kenaikan suhu ini juga diperkuat oleh laporan para ilmuwan global bahwa pemanasan atmosfer dan lautan memicu intensitas curah hujan ekstrem yang berdampak langsung pada banjir dan kejadian bencana lain di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (The Guardian, 2025; AP News, 2025).

Fenomena lain yang sama penting namun sering kurang mendapat sorotan media adalah kenaikan permukaan laut dan intrusi air asin di pesisir Indonesia. Kisah nyata warga seperti perempuan di Desa Rejosari Senik, Jawa Tengah, yang rumahnya kini dikelilingi air laut dan menanam ribuan mangrove untuk melindungi lingkungan sekitarnya, menggambarkan dampak langsung perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat pesisir yang rentan (Reuters, 2025). Permasalahan ini, meskipun bukan bencana spektakuler seperti banjir besar, mencerminkan ancaman jangka panjang yang melemahkan ketahanan ekonomi dan sosial komunitas pesisir, serta memperlihatkan perlunya adaptasi proaktif untuk menghadapi kenaikan muka air laut.

Permasalahan Struktural: Deforestasi, Emisi, dan Ketidakselarasan Kebijakan Salah satu akar persoalan terpenting dalam konteks perubahan iklim di Indonesia adalah deforestasi dan degradasi hutan yang masif. Indonesia selama puluhan tahun menghadapi tekanan deforestasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pertanian besar, pertambangan, dan proyek-proyek pembangunan. Proyek sawah ddanl bioetanol berskala besar di wilayah seperti Kalimantan dan Papua, wwalaupun dimaksudkan untuk keamanan pangan dan energi, justru telah memicu kritik serius karena mengakibatkan emisi karbon dalam jumlah besar serta kerusakan ekosistem hutan primer yang sangat penting sebagai penyerap karbon (AP News, 2025). Hal ini menunjukkan bahwa strategi pembangunan nasional yang menempatkan ekspansi ekonomi di atas perlindungan lingkungan justru memperburuk kontribusi Indonesia terhadap perubahan iklim global.

Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ketergantungan Indonesia pada ekonomi berbasis bahan bakar fosil dan keluarnya kebijakan energi yang belum sepenuhnya menempatkan mitigasi iklim sebagai prioritas utama turut menjadi tantangan. Meskipun Indonesia berkomitmen pada perjanjian iklim global dan memiliki target Nationally Determined Contributions (NDCs) yang mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca, masih terdapat celah antara target dan implementasi di lapangan — terutama pada sektor energi, transportasi, dan industri berat. Kesenjangan implementasi ini menunjukkan bahwa mitigasi iklim membutuhkan dukungan lintas sektor, bukan hanya dari sektor lingkungan. Stakeholders & Peran Berkepentingan Pemangku kepentingan dalam aksi iklim di Indonesia sangat beragam, mencakup pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil, sektor bisnis, komunitas lokal, dan lembaga internasional.

Sektor bisnis memiliki pengaruh besar, baik secara positif maupun negatif. Di satu sisi, perusahaan swasta dapat menjadi mitra penting dalam inovasi teknologi rendah karbon, efisiensi energi, dan investasi hijau. Namun di sisi lain, praktik industri yang merusak lingkungan, termasuk pembukaan lahan tanpa tata kelola yang tepat dan emisi dari sektor manufaktur dan transportasi, malah memperburuk jejak karbon nasional. Hal ini menunjukkan perlunya regulasi yang kuat dan penerapan prinsip bisnis berkelanjutan corporate sustainability) yang tak sekadar citra, tetapi terukur dalam praktiknya. Masyarakat sipil dan komunitas lokal, terutama di daerah rawan bencana dan pesisir, juga memperlihatkan peran penting dalam aksi iklim. Contoh upaya komunitas menanam mangrove untuk adaptasi lokal tidak hanya menjadi simbol solidaritas, tetapi juga strategi praktis berbasis pengetahuan lokal untuk menghadapi kenaikan muka air laut. Peran komunitas seperti ini sering kali menjadi penguat kapasitas adaptasi di tingkat lokal dan bisa menjadi model untuk direplikasi dalam skala lebih luas.

Dalam kerangka perencanaan pembangunan daerah, beberapa pemerintah provinsi telah memasukkan strategi pengurangan risiko bencana serta upaya rehabilitasi lingkungan sebagai bagian dari agenda kebijakan daerah. Namun, pencapaian indikator semacam ini masih sangat bervariasi antarwilayah, dan data terbaru dari satu daerah seperti Sumatera Selatan menunjukkan bahwa pencapaian terkait target SDG 13 masih di titik nol untuk beberapa indikator — sebuah pertanda bahwa koordinasi antara kebijakan nasional dan implementasi daerah masih memerlukan penguatan besar (sdgs.sumselprov.go.id, n.d.).

Adaptasi konkret juga terlihat dalam beberapa program berbasis komunitas dan kolaborasi dengan perguruan tinggi. Misalnya, universitas dan lembaga akademik turut mengembangkan riset terkait peta kerentanan terhadap perubahan iklim serta modul pendidikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (sdgs.jakarta.go.id, n.d.; UNJ, n.d.). Pendekatan ilmiah seperti ini dapat memperkuat basis pengetahuan yang diperlukan bagi pelaksanaan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Faktor Penghambat dan Tantangan Besar Beberapa faktor struktural memperlambat pencapaian SDG 13 di Indonesia. Pertama,nketergantungan ekonomi pada aktivitas yang menghasilkan emisi tinggi, seperti ekspansinperkebunan dan ekstraksi sumber daya alam, menciptakan paradoks antara pembangunannekonomi dan pengurangan emisi. Kedua, kapasitas adaptasi yang tidak merata antarwilayah, terutama antara pusat dan daerah terpencil, memperlemah kesiapsiagaan dan respons terhadap bencana iklim. Ketiga, pendanaan dan insentif implementasi masih sangat bergantung pada APBN serta belum optimalnya mobilisasi pembiayaan hijau, sehingga keterbatasan sumber daya menjadi kendala nyata dalam skala besar. Meskipun Indonesia sering menegaskan komitmen formalnya terhadap perjanjian iklim global, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan tersebut jarang diterjemahkan menjadi aksi nyata yang konsisten. Banyak program mitigasi dan adaptasi yang tertunda atau terbengkalai karena teredam oleh prioritas pembangunan jangka pendek, kepentingan politik, dan tekanan ekonomi. Pendekatan sektoral yang fragmentaris membuat integrasi isu iklim ke dalam semua kebijakan nasional dan daerah masih jauh dari ideal; lingkungan sering menjadi korban ketika proyek ekonomi dianggap lebih “²”penting”. Selain itu, pembiayaan untuk aksi iklim masih minim dan bergantung pada anggaran negara, padahal alternatif inovatif seperti green bonds, carbon finance, atau kemitraan publik–swasta bisa dimaksimalkan untuk mempercepat mitigasi dan adaptasi. Kapasitas nasional dan lokal untuk pemetaan risiko iklim, sistem peringatan dini, dan kesiapsiagaan bencana juga lemah, sehingga banyak daerah tetap rentan terhadap bencana yang sebenarnya dapat dicegah. Lebih kritis lagi, implementasi kebijakan sering mengabaikan keadilan sosial; kelompok masyarakat yang paling terdampak perubahan
iklim, misalnya petani kecil atau komunitas pesisir, sering tidak mendapatkan perlindungan memadai saat kebijakan harga karbon atau transisi energi diberlakukan. Pendidikan dan kampanye publik tentang kesadaran iklim pun masih parsial dan kurang
menyentuh lapisan masyarakat luas, terutama generasi muda yang menjadi penentu masa depan. Dengan kondisi ini, Indonesia berisiko gagal memenuhi target SDG 13, dan dampaknya akan terasa pada pencapaian SDGs lainnya, termasuk pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, kesehatan, dan keberlanjutan kota serta ekosistem. Indonesia perlu melihat SDG 13 bukan sebagai kewajiban statistik, melainkan sebagai landasan strategi pembangunan yang mampu melindungi generasi saat ini dan masa depan dari dampak perubahan iklim yang semakin nyata.

REFERENSI
ANTARA News. (2025, Januari 15). Pemerintah targetkan adaptasi iklim di seluruh daerah rawan bencana. https://www.antaranews.com
AP News. (2025, November 30). Indonesia’s deforestation and carbon emissions challenge global climate goals. https://apnews.com
Reuters. (2025, Desember 3). Flood-hit Indonesian regions struggle with relief efforts.
https://www.reuters.com
The Guardian. (2025, Desember 1). Extreme rainfall in Indonesia linked to global warming, scientists warn. https://www.theguardian.com
United Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for sustainable development. United Nations. https://sdgs.un.org/2030agenda
sdgs.ub.ac.id. (n.d.). Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia. Universitas
Brawijaya. https://sdgs.ub.ac.id
sdgs.sumselprov.go.id. (n.d.). Indikator pencapaian SDGs Provinsi Sumatera Selatan.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. https://sdgs.sumselprov.go.id

Pos terkait